Zona Magazine - Natal biasanya
dihiasi film-film bertema kekeluargaan yang penuh kebahagiaan, seperti semangat
Hari Raya itu sendiri. Namun sutradara Michael Dougherty menawarkan hal yang
sedikit berbeda untuk Natal tahun ini melalui Krampus.
Film produksi Legendary Pictures dan Universal Pictures ini
masih membawa pohon Natal dan berbagai hadiah yang ada di bawahnya, namun
dengan cara yang berbeda.
Max, seorang bocah yang masih percaya Santa hanya
menginginkan Natal yang damai dan mengakrabkan semua anggota keluarganya.
Menyadari dirinya bukan termasuk anak yang berkelakuan baik, maka ia pun
mengirim surat permohonan kepada lelaki mitos berperut gendut itu.
Meski menyenangi Natal, Max dan keluarganya cenderung enggan
menerima kerabat mereka sendiri, yaitu keluarga Howard dan Linda. Linda adalah
adik Sarah, ibu Max. Keluarga Howard dan Linda dianggap aneh oleh Sarah dan
Tom, suaminya. Begitu pula sebaliknya. Kedua keluarga ini bagaikan dua dunia
yang berbeda.
Suatu kali, surat permohonan kepada Santa dari Max menjadi
bahan olok-olok sepupunya sendiri hingga mereka beradu pukul menjelang Natal.
Pertengkaran ini membuat Max kecewa dan berharap Natal tak pernah ada.
Permohonan Max terkabul. Mendadak langit berubah kelam dan
terjadi badai salju yang teramat dahsyat. Namun itu baru awalan dari teror
sesungguhnya, permohonan Max menjadi "panggilan" bagi suatu mitos
yang bernama Krampus.
Krampus merupakan makhluk mitologi dalam kepercayaan
masyarakat Eropa sebagai bentuk kebalikan dari Saint Nicholas. Bila Saint
Nicholas atau Sinterklas biasa memberi dan memaafkan, maka krampus datang untuk
menghukum dan menarik orang dibawa ke neraka.
Menghadapi makhluk mitologi tersebut, Max dan keluarganya
berjuang menyelamatkan diri dari kejaran Krampus serta para pembantunya, yaitu
hadiah Natal yang berubah menjadi monster mengerikan.
"Ini bukan masalah apa yang sudah kau lakukan, tetapi
apa yang kau yakini," kata Omi, nenek Max.
Dougherty, sang sutradara merangkap penulis skrip, membuka
Krampus dengan sebuah sindiran paradoks dari Natal yang sebenarnya juga terjadi
dengan Hari Raya lain, di mana orang berbondong-bondong mendahulukan kebutuhan
sebagai seremonial belaka dibandingkan esensi Hari Raya itu sendiri.
Namun kondisi tersebut justru menjadi awalan yang tepat
untuk membawa sosok Krampus ke dalam film. Krampus dikisahkan akan menghukum
siapa pun yang bersikap nakal ataupun tidak menghayati kepercayaan Natal.
Demi menguatkan mitologi yang ada, Dougherty menggunakan
sosok "pembantu" Krampus yaitu para mainan. Mainan ini biasanya
bertampang lucu dan menggemaskan, namun jangan harap itu terjadi di Krampus.
Film ini sanggup membuat boneka badut memakan dua anak kecil hidup-hidup, dan
kue jahe menembakkan paku kepada orang dewasa.
Film ini diklasifikasikan PG-13 atau untuk usia 13 tahun ke
atas. Anak-anak di bawah usia itu sebaiknya tidak diajak menonton Kramun,
karena bentuk monster yang ditampilkan sanggup membuat anak-anak berpikir dua
kali menjadikan boneka sebagai teman tidur. Sekilas, mainan berjiwa monster ini
mengingatkan akan kehebatan Chucky menjadi mimpi buruk anak kecil.
Meski horror thriller, Dougherty masih menyelipkan bumbu
komedi dalam film 98 menit ini. Meski komedi yang diselipkan bukan komedi yang
sanggup membuat tertawa terbahak-bahak, namun setidaknya cukup membuat suasana
segar walaupun sebenarnya adegan yang ditampilkan seharusnya bukan untuk
ditertawakan.
Krampus mendapatkan berbagai tanggapan sejak rilis pada 4
Desember di Amerika Serikat. Dengan bujet US$15 juta, Krampus setidaknya
mendapatkan cukup perhatian dari para kritikus. Walaupun film ini tidak dapat
dibilang film yang membuat bulu roma berdiri ataupun menjerit serta menutup
mata, setidaknya cukup jadi mimpi buruk pada malam Natal bagi anak-anak.
(cnn)
0 komentar:
Posting Komentar