Zona Magazine - Bayi bertelanjang dada memanjat kaleng Coca Cola yang
tertungging. Ekspresinya gembira dengan sedikit lekukan tawa di bibir. Tampak
di punggungnya, kepak sayap kupu-kupu kuning.
Itulah salah satu lukisan karya Wahyu Geiyonk bertajuk Coca
Bayi (2009) yang dipamerkan bersama karya-karya enam perupa lain dalam pameran
7 Rupa Perupa di Museum Seni Rupa dan Keramik, pada 1-10 Desember 2015. Keenam
perupa lain, yaitu Akbar Linggaprana, Djoko Sudarwo, Lateevhaq, Rindy Atmoko,
Sugiono, dan Tomy Faisal Alim.
Pameran yang dikuratori Dr. Narsen Afatara ini merupakan
bagian dari Pekan Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta. Selain pameran, digelar
juga kegiatan edukasi dan apresiasi seni berupaworkshop melukis untuk pelajar
dan gelar kesenian rakyat bagi masyarakat.
Coca Bayi bukan satu-satunya lukisan karya Wahyu yang
menampilkan bayi dalam pameran kali ini. Wahyu juga membuat Baby Souvenir
(2013) dan beberapa lukisan lain bertema serupa.
Di Baby Souvenir, Wahyu menghinggapkan kupu-kupu di dekat
mata bayi yang terlelap. Wajahnya dipenuhi gambar kupu-kupu transparan. Damai,
tak ada yang mengganggu dan merasa terganggu.
Seri lukisan bayi dan kupu-kupu adalah metafora kegelisahan
Wahyu yang dia kejar dengan bersemangat.
“Ini kecemasan saya tentang bagaimana masa depan anak-anak,”
katanya saat pembukaan pameran, pada Selasa (1/12).
Dia menuliskan “peace” yang diplesetkan menjadi “OE-(bintang
Daud)-iS” di ikat kepala bayi dalam Coexist. Sebuah jeritan perdamaian yang tak
habis-habisnya dilengkingkan, senyaring tangisan banyi yang lapar dan haus.
Sementara itu Djoko Sudarwo menjawab tantangan lingkungan
lewat berbagai solusi visual, ungkapan kejujuran yang didasari akhlak mulia.
Insan Kamil (2014), misalnya, yang melampaui referensi visual, secara umum
wingit dengan eksplorasi bentuk yang kuat.
Konsep orientalisme dipilih Sugiono sebagai respon atas
hiruk pikuk perkembangan seni rupa kontemporer.
Lewat The Sacred Carpet (2015) yang menggambarkan keriuhan
arak-arakan dalam mengiringi seseorang dalam tandu, serta hebatnya perang dalam
The Fall of Constantinople 1453 (2014), Sugiono mempertahankan kekagumannya
pada masa lalu. Negeri Timur Tengah dia “pelihara” tetap pada zaman unta ketika
minyak belum disedot secara besar-besaran dari perut bumi.
Masa lalu juga jadi ketertarikan Tomy Faisal Alim namun
dengan fantasi ke depan. Bulan Setaman(2014) yang menggambarkan perempuan
memeluk biola dari malam ke malam adalah ekspresinya tentang kota, tradisi, dan
cinta. Layaknya merindu kasih dan kerap mengikuti suasana hati, Tomy membuatnya
berlapis, mengejutkan, dan syur.
Rindy Atmoko punya ketertarikan khusus pada akulturasi
budaya sebagai hubungan mendasar dalam globalisasi. Dipadukan dengan
kekagumannya pada sosok perempuan yang banyak menyimpan misteri serta
kecintaannya pada tradisi, Rindy menggabungkan budaya Jawa dan Jepang dalam
satu bingkai. Dewi Sido Asih, misalnya, digambarkan Rindy sebagai perempuan
mengenakan kimono bermotif batik sidomukti berlatar belakang kuil kuno di
Jepang.
Misteriusnya perempuan juga menarik perhatian Lateevhaq yang
karya-karyanya kental akan renungan, entakan, dan kepanikan. Ekspresi simbolik
sosok berparas cantik di Metropolis Climax in Grey (2015) menjadi cara
ungkapnya tentang kondisi kacau dalam menangkap kehidupan di sekeliling.
Perempuan cantik digambarkannya tanpa tulang hidung dan tanpa bola mata.
Mengerikan.
Karya ketujuh perupa punya napas yang sama dalam menangkap
kondisi mikrokosmos yang kini berada dalam posisi tidak bersih dan rusak.
Kondisi yang melahirkan individu-individu tak patuh hukum dan membentuk
individu yang keras.
Monopoli kebenaran bergerak dari kepercayaan terhadap
realitas yang dulu dianggap pasti, jelas dapat diterima akal, menjadi
ketidakpercayaan terhadap realitas yang penuh kepalsuan, manipulatif, dan
kebenaran yang relatif. Kebenaran menjadi semacam mitos yang keberadaannya
goncang.
Dalam dunia yang kacau seperti itu seni rupa Indonesia memilih
bentuknya sendiri yang bebas. Estetika bentuk tidak dipandang hanya melalui
tampilan atau hasil komposisi unsur rupa (garis, bidang, bentuk 3D, tekstur).
Masih ada arti dengan tingkatannya, denotatif maupun konotatif, yang merupakan
aspek penting estetika bentuk.(cnn)
0 komentar:
Posting Komentar