AdSpace

  • Terbaru

    4 Des 2015

    Pergulatan Idealisme Tujuh Perupa Indonesia

    Zona Magazine - Bayi bertelanjang dada memanjat kaleng Coca Cola yang tertungging. Ekspresinya gembira dengan sedikit lekukan tawa di bibir. Tampak di punggungnya, kepak sayap kupu-kupu kuning.

    Itulah salah satu lukisan karya Wahyu Geiyonk bertajuk Coca Bayi (2009) yang dipamerkan bersama karya-karya enam perupa lain dalam pameran 7 Rupa Perupa di Museum Seni Rupa dan Keramik, pada 1-10 Desember 2015. Keenam perupa lain, yaitu Akbar Linggaprana, Djoko Sudarwo, Lateevhaq, Rindy Atmoko, Sugiono, dan Tomy Faisal Alim.

    Pameran yang dikuratori Dr. Narsen Afatara ini merupakan bagian dari Pekan Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta. Selain pameran, digelar juga kegiatan edukasi dan apresiasi seni berupaworkshop melukis untuk pelajar dan gelar kesenian rakyat bagi masyarakat.
    Coca Bayi bukan satu-satunya lukisan karya Wahyu yang menampilkan bayi dalam pameran kali ini. Wahyu juga membuat Baby Souvenir (2013) dan beberapa lukisan lain bertema serupa.


    Di Baby Souvenir, Wahyu menghinggapkan kupu-kupu di dekat mata bayi yang terlelap. Wajahnya dipenuhi gambar kupu-kupu transparan. Damai, tak ada yang mengganggu dan merasa terganggu.

    Seri lukisan bayi dan kupu-kupu adalah metafora kegelisahan Wahyu yang dia kejar dengan bersemangat.

    “Ini kecemasan saya tentang bagaimana masa depan anak-anak,” katanya saat pembukaan pameran, pada Selasa (1/12).

    Dia menuliskan “peace” yang diplesetkan menjadi “OE-(bintang Daud)-iS” di ikat kepala bayi dalam Coexist. Sebuah jeritan perdamaian yang tak habis-habisnya dilengkingkan, senyaring tangisan banyi yang lapar dan haus.

    Sementara itu Djoko Sudarwo menjawab tantangan lingkungan lewat berbagai solusi visual, ungkapan kejujuran yang didasari akhlak mulia. Insan Kamil (2014), misalnya, yang melampaui referensi visual, secara umum wingit dengan eksplorasi bentuk yang kuat.

    Konsep orientalisme dipilih Sugiono sebagai respon atas hiruk pikuk perkembangan seni rupa kontemporer.

    Lewat The Sacred Carpet (2015) yang menggambarkan keriuhan arak-arakan dalam mengiringi seseorang dalam tandu, serta hebatnya perang dalam The Fall of Constantinople 1453 (2014), Sugiono mempertahankan kekagumannya pada masa lalu. Negeri Timur Tengah dia “pelihara” tetap pada zaman unta ketika minyak belum disedot secara besar-besaran dari perut bumi.

    Masa lalu juga jadi ketertarikan Tomy Faisal Alim namun dengan fantasi ke depan. Bulan Setaman(2014) yang menggambarkan perempuan memeluk biola dari malam ke malam adalah ekspresinya tentang kota, tradisi, dan cinta. Layaknya merindu kasih dan kerap mengikuti suasana hati, Tomy membuatnya berlapis, mengejutkan, dan syur.

    Rindy Atmoko punya ketertarikan khusus pada akulturasi budaya sebagai hubungan mendasar dalam globalisasi. Dipadukan dengan kekagumannya pada sosok perempuan yang banyak menyimpan misteri serta kecintaannya pada tradisi, Rindy menggabungkan budaya Jawa dan Jepang dalam satu bingkai. Dewi Sido Asih, misalnya, digambarkan Rindy sebagai perempuan mengenakan kimono bermotif batik sidomukti berlatar belakang kuil kuno di Jepang.

    Misteriusnya perempuan juga menarik perhatian Lateevhaq yang karya-karyanya kental akan renungan, entakan, dan kepanikan. Ekspresi simbolik sosok berparas cantik di Metropolis Climax in Grey (2015) menjadi cara ungkapnya tentang kondisi kacau dalam menangkap kehidupan di sekeliling. Perempuan cantik digambarkannya tanpa tulang hidung dan tanpa bola mata. Mengerikan.

    Karya ketujuh perupa punya napas yang sama dalam menangkap kondisi mikrokosmos yang kini berada dalam posisi tidak bersih dan rusak. Kondisi yang melahirkan individu-individu tak patuh hukum dan membentuk individu yang keras.

    Monopoli kebenaran bergerak dari kepercayaan terhadap realitas yang dulu dianggap pasti, jelas dapat diterima akal, menjadi ketidakpercayaan terhadap realitas yang penuh kepalsuan, manipulatif, dan kebenaran yang relatif. Kebenaran menjadi semacam mitos yang keberadaannya goncang.

    Dalam dunia yang kacau seperti itu seni rupa Indonesia memilih bentuknya sendiri yang bebas. Estetika bentuk tidak dipandang hanya melalui tampilan atau hasil komposisi unsur rupa (garis, bidang, bentuk 3D, tekstur). Masih ada arti dengan tingkatannya, denotatif maupun konotatif, yang merupakan aspek penting estetika bentuk.(cnn)
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Pergulatan Idealisme Tujuh Perupa Indonesia Rating: 5 Reviewed By: Unknown
    Scroll to Top